Satu Anggota Majelis Hakim Disenting Opinion Terhadap Vonis Terdakwa Kasus Korupsi Kondesat Rp 37 Triliun
![]() |
Raden Priyono Dan Kuasa Hukumnya, Tumpal Hutabarat |
"Menyatakan terdakwa Raden Priyono dan Djoko Harsono telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan subsider penuntut umum yakni para terdakwa telah keliru menafsirkan kebijakan pemerintah dalam menunjuk PT. TPPI sebagai penjual kondensat/minyk mentah bagian negara " kata Ketua Majelis Hakim Rosmina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, pada Senin (22/6).
Raden Priyono dan Djoko Harsono tidak terbukti dalam dakwaan primer penuntut umum. Oleh karena itu hukuman ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta keduanya dikenakan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Selajutnya majelis hakim menyatakan Raden Priyono dan Djoko Harsono terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan hal yang meringankan hukuman, kedua terdakwa bersifat sopan, tidak berbelit-belit, dan belum pernah dipidana.
Dissenting Opinion
Namun demikian, putusan majelis hakim terhadap para terdakwa tersebut tidak bulat karena seorang anggota majelis hakim, Sofialdi menyatakan dissenting opinion atau berbedapa pendapat dengan majelis hakim lainnya. Dalam dissenting opini putusannya , Sofialdi menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang yang dilakukan para terdakwa oleh karenanya ke dua terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan jaksa penuntut umum dan setidaktidak putusan tersebut onsalg, karena menurutnya ke dua terdakwa tersebut hanya menjalan kebijakan pemerintah dan hubungan BP Migas dengan PT. TPPI adalah hubungan keperdataan.
Terkait putusan itu, penasihat hukum Raden Priyono, Tumpal Hutabarat menyatakan sebenarnya kalau kita melihat sikap majelis hakim yang ada anggotanya menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat dalam putusannya tersebut, itu membuktikan bahwa memang tidak ada sebenarnya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Raden dan Djoko.
"Apalagi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan terdakwa telah keliru menafsirkan kebijakan pemerintah. Logikanya begini, tadi majelis hakim anggota satu mengatakan sesat logika. Menurut saya malahan majelis hakimnya yang sesaat logika karena tidak cermat menilai fakta-fakta yang ada dalam persidangan. Disatu sisi majelis hakim tersebut mengakui adanya kebijakan pemerintah untuk memasok kondensat kepada PT. TPPI namun disisi lain menyatakan pemasokan kondensat tersebut harus melalui lelang. Pada hal adanya kebijakan pemerintah tersebut karena sejatinya kondisi TPPI yang saham mayoritasnya milik pemerintah tersebut tidak dapat memenuhi syarat-syarat lelang, khususnya pemberian jaminan untuk pembelian kondensat dimaksud karena kondisi keuangan TPPI sejak awal telah diketahui dalam keadaan kesulitan keuangan, namun kilang minyak masih dapat beroperasi. Selain daripada itu, jika pemasokan kondensat kepada TPPI tersebut harus dilakukan lelang, dengan syarat-syarat yang ada, tentunya tidak perlu ada kebijakan pemerintah dan tidak perlu adanya Surat dari kemeterian ESDM serta Surat Menteri Keuangan RI yang meminta BP Migas untuk memasok kondensat ke TPPI," ujar Tumpal usai pembacaan putusan kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (22/6).
Menurut Tumpal, sejak awal rapat di istana, PT TPPI itu yang saham mayoritas punya pemerintah ini 60% dan diketahui memang tidak ada uangnya. Jadi kalau perusahaan yang tidak ada uang sudah pasti tidak bisa mengikuti persyaratan lelang. Diminta jaminan uangnya tidak ada, karena keadaan yang lemah, makan timbullah kebijakan pemerintah itu.
"Jadi jika pendapat hakim yang dikatakan tadi harus mengikuti syarat, sejak awal sudah tidak memenuhi persyaratan TPPI itu, makanya pemerintah turun tangan. Hakim juga mengatakan kalau dibandingkan Pertamina dengan PT.TPPI tidak apel to apel yang maksudnya Pertamina bisa ditunjuk langsung sedangkan TPPI harus melalui proses lelang , pendapat majelis hakim tersebut yang saya maksud sesat logoika, karena suatu ketentuan peraturan itu sama bagi semua pihak tidak ada yang dibedakan, jika Pertamina bisa ditunjuk langsung tentunya TPPI juga bisa ditunjuk langsung, apa lagi yang meminta tersebut adalah pemerintah karena saham mayoritas TPPI tersebut milik pemerintah, " jelasnya.
Ketika ditanya langkah hukum selanjutnya, Tumpal mengatakan dari awal perkara ini bergulir, pihaknya berpendapat tidak ada kesalahan yang dilakukan kliennya. Karena mereka semata-mata hanya melaksanakan kebijakan pemerintah dan dalam melaksanakan kewajiban hukumnya tersebut terdakwa juga tidak memperoleh keuntungan, tidak ada niat jahat atau mensrea didalam diri mereka.
"Putusan empat tahun itu cukup berat," kata Tumpal seraya mengatakan kami sebagai penasehat hukum akan mempelajri putusan tersebut dan akan mendiskusikan dengan kliennya, artinya saat ini kita masih fikir fikir dululah .
"Kalau pendapat kami sebagai penasihat hukum tentunya tentunya sebaiknya mengajukan upaya hukum banding terhadap terhaap putusan tersebut, namun demikian kita akan pelajari lagi dan keputusan itu semuanya ada kepada para terdakwa ini. Kita punya waktu yang diatur oleh Undang undang selama satu minggu untuk menentukan sikap, banding atau tidaknya," pungkasnya.
Sedangkan Terdakwa Direktur PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (PT TPPI) Honggo Wendratno yang disidangkan secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa karena buron akhirnya diganjar hukuman 16 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/6). (Acil).
Tidak ada komentar